Selasa, 19 Mei 2009

sumantri dan dewi citrawati

Kadang-kadang, perempuan memang suka nyari gara-gara. Nyari gara-gara bagaimana maksudnya? Ya tentu saja tidak semua gara-gara yang dicari-cari oleh kaum hawa itu selalu dalam konteks negatif. Cuma memang, sampai sekarang aku masih menganggap bahwa perempuan itu sangat susah dipahami. Sampai sekarang aku masih beranggapan bahwa pikiran perempuan itu sangat njlimet, seperti pandangan mereka sebaliknya kepada laki-laki.

Dan, gara-gara yang suka dicari mereka itu, dalam beberapa kondisi, justru menunjukkan beberapa kelebihan serta pengaruh mereka terhadap laki-laki yang sangat dahsyat. Kebetulan, contoh berikut yang bakal aku sertakan ini adalah para perempuan dengan konteks gara-gara yang tidak aku sukai.

Oke, langsung aja kita tunjuk hidung perempuan-perempuan yang tidak aku sukai itu. Salah satunya adalah Dewi Citrawati, istri Prabu Harjuna Sasrabahu.

Sebelum nggosipin Citrawati ini, ada baiknya kita berkenalan dulu dengan korban gara-garanya, yakni seorang anak muda dari gunung dengan nama Bambang Sumantri yang kelak dikenal dengan nama besar Patih Suwanda.

Sumantri, anak Resi Wisanggeni, konon adalah seorang anak muda jagoan panah yang sakti mandraguna. Sukar dicari tandingannya sepadepokan milik bapaknya. Adik kandungnya menderita kelainan bentuk, berupa raksasa kerdil bernama Sukrasana. Walaupun Sukrasana berwujud raksasa, tapi hatinya suci karena menurut shohibul hikayat, Sukrasana ketitisan Batara Dharma.

Sejak kecil, Sumantri bertekad hanya akan mengabdi pada seorang raja yang memiliki kesaktian melebihi dirinya. Maka, oleh bapaknya, Sumantri disarankan melamar kepada Prabu Harjuna Sasrabahu yang masih saudara jauhnya sendiri.

Singkat cerita, berangkatlah Sumantri menuju istana Maespati, kediaman Harjuna Sasrabahu. Mulai dari masuk kota sampai pelataran istana, tidak ada satu orang prajurit pun yang berani menegur tindakannya yang slonong-boy, karena roman mukanya yang bak pinang dibelah golok dengan Sang Prabu sendiri. Para prajurit pada ragu-ragu. Jangan-jangan, anak muda awut-awutan itu justru raja mereka sendiri yang sedang menyamar. Sampai pada akhirnya, seorang perwira senior dengan sedikit nekat menegurnya, bertanya apa keperluannya, dan kemudian mengantarkannya ke dalam untuk menemui Sang Prabu.

Di dalam, para pembesar istana kembali terheran-heran. Kepala mereka menatap ke arah Sumantri dan Prabu Harjuna Sasrabahu bergantian. Terkesan tidak percaya ada 2 orang yang bukan saudara kandung yang demikian miripnya.

Singkat kata, Sumantri diperbolehkan mengabdi dengan syarat harus mampu mengusir musuh kerajaan Magada (CMIIW), Prabu Dharmawisesa dan adiknya, Prabu Jonggirupaksa, dari Jonggarba, dan para sekutunya, yang berniat meminang putri Magada, Dewi Citrawati, dengan jalan kekerasan. Sumantri pun menyanggupi. Ribuan armada tempur Maespati saat itu juga langsung berada di bawah perintahnya.

Sumantri memiliki sebuah senjata sakti berupa anak panah yang bernama Cakrabaskara, hadiah dari Batara Narada, yang tiap kali dilepas akan selalu meminta korban terus menerus sebelum dipanggil pulang oleh tuannya. Panah sakti ini yang menjadi andalan Sumantri dan membuatnya percaya diri bakal mampu menaklukkan Prabu Dharmawisesa.

Singkat kata lagi, raja-raja sekutu Dharmawisesa akhirnya berhasil dibabat Sumantri dengan mudahnya tanpa perlu mengeluarkan Cakrabaskara. Baru ketika Sumantri berhadapan dengan Jonggirupaksa, Cakrabaskara berdengung-dengung menunjukkan kualitasnya sebagai senjata para dewa. Jonggirupaksa modar di depan kakaknya sendiri, Prabu Dharmawisesa. Saat itu juga Dharmawisesa merasa gentar berhadapan dengan Sumantri. Memutuskan bertapa semalaman, memohon keadilan dari dewa.

Batara Narada pun turun. Menasehati Dharmawisesa untuk mundur saja. Kepalang tanggung, kata Dharmawisesa. Sahabat-sahabat dan saudaranya sudah gugur. Dia pun ingin gugur saja di medan perang, tapi setidaknya berilah dia senjata untuk mengimbangi Cakrabaskara milik Sumantri.

“Nggak ada senjata yang bisa mengalahkan Cakrabaskara, Le,” kata Batara Narada. “Hanya saja, jika kamu bersikeras, kamu kuberi sebuah anak panah, Bujanggapasa (maaf, kalau salah. Aku lupa-lupa ingat soale). Keampuhannya sedikit di bawah Cakrabaskara. Kalau masih nekat ingin mengalahkan Sumantri, lepaskan panahmu sebelum Sumantri menembakkan Cakrabaskara.”

Wuzzz… Batara Narada kemudian langsung lenyap.

Besoknya, Dharmawisesa menantang Sumantri gelut 1 lawan 1. Perkelahian berlangsung seimbang, sambil Dharmawisesa mengintip celah di mana Sumantri lengah, sampai suatu ketika akhirnya Dharmawisesa merentang busur dan memasang anak panahnya. Sumantri waspada. Insting bertarungnya mengatakan panah yang dihadapinya pasti bukan panah sembarangan. Batinnya berbisik, pasang Cakrabaskara-mu sekarang!

Bujanggapasa melesat. Dengingannya memekakkan telinga. Sumantri siaga. Dengan kesigapan seorang jagoan panah avant-garde, Cakrabaskara melesat menyusul. Dan suara ledakan menggelegar ketika kedua anak panah hadiah dewa itu bertumbukan di udara. Bujanggapasa luluh-lantak, Cakrabaskara masih terus melenggang menebas leher Prabu Dharmawisesa. Sumantri menang. Magada selamat.

Masuk kota Magada, Sumantri dielu-elukan rakyat bagaikan dewa perang, penyelamat negeri Magada. Maka selanjutnya, sesuai permintaan Prabu Harjuna Sasrabahu, Dewi Citrawati pun segera diboyong ke Maespati untuk ditemukan dengan calon suaminya.

Nah, di sini aku memuji kehebatan pengaruh seorang wanita, sekaligus mengutuk penyalah-gunaannya. Dewi Citrawati sedikit tidak senang dengan penghargaan dari rakyatnya yang diterima Sumantri, dan kemudian berniat sedikit memperkeruh suasana. “Dik Mantri, kenapa bukan Kangmas Harjuna saja yang langsung menjemputku ke Magada?” tanyanya.

“Anu, Mbak. Bukannya Magada lagi kemelut kemarin. Jadinya ya saya yang diutus untuk mengeliminasi serangan Dharmawisesa dulu, kemudian langsung memboyong Mbak Dewi ke Maespati.”

“Lha, yang kumaksud itu, Dik. Kenapa Kangmas Harjuna nggak langsung turun tangan sendiri menyelamatkan diriku ini? Aku kan calon istrinya. Aku jadi sedikit merasa diremehkan kalo caranya kayak gini.”

“Ya maaf-maaf aja, Mbak. Namanya juga raja. Nggak etis kalo beliaunya turun tangan langsung. Bisa menurunkan bargaining position-nya beliau kalo sampe turun gelanggang langsung. Padahal masih ada bawahannya yang bisa diperintah. Gitu lho, Mbak.”

“Aku bukannya mau merendahkan kamu lho, Dik. Tapi aku sekarang justru sedikit ragu dengan Kangmas Harjuna.”

“Heh?”

“Maksudnya, aku ragu apakah Kangmas Harjuna itu sesakti dirimu, gitu loch.”

“Lha ya jelas sakti, Mbak. Beliau kan, titisan Dewa Wisnu. Jelas pasti sakti.”

“Justru itu yang bikin aku ragu, dia benar-benar titisan Wisnu atau bukan. Kalau memang sakti, seharusnya dia turun tangan langsung. Nggak perlu mengorbankan ribuan pasukan Maespati plus Magada buat menghadapi Dharmawisesa. Cukup dia sendiri yang turun tangan, habis perkara.”

“Iya, ya…”

“Nah, kamu sendiri kok bisa yakin dia titisan Wisnu? Kok bisa yakin dia lebih sakti dari kamu? Apa kamu sudah pernah lihat sendiri kesaktiannya? Jangan-jangan semuanya itu malah cerita ngarang. Eh, bukannya kamu sendiri katanya cuma mau mengabdi sama raja yang lebih sakti daripada kamu. Kok sekarang malah langsung percaya aja, nggak dibuktikan lebih dulu?”

Jederrr!! Sumantri jadi kalap. Hatinya panas. Dia jadi ragu sama Harjuna Sasrabahu. Maka rombongan Maespati langsung dihentikan di tengah jalan. Dia kemudian mendirikan perkemahan di tempat pemberhentiannya. Menulis surat kepada rajanya dengan inti, dia akan mengantarkan Dewi Citrawati setelah Sang Prabu menunjukkan levelnya sebagai titisan Wisnu secara langsung.

Harjuna Sasrabahu menerima surat tersebut. Dengan tenang dia menyanggupi tantangan Sumantri. Diiringi beberapa pembesar Maespati, dia menuju lokasi pertempuran pinggir hutan yang sudah dipersiapkan oleh Sumantri. Dan bertarunglah keduanya.

Pertempuran lagi-lagi berlangsung seru, seram, dan menegangkan. Mulai dari adu pedang, adu tombak, hingga adu menunggangi kereta perang, Sumantri seakan-akan tidak bisa menunjukkan performanya yang selama ini selalu berada di atas angin jika berhadapan dengan musuh-musuhnya. Semua serangan Sumantri dimentahkan oleh Harjuna Sasrabahu, hingga tiba saatnya Sumantri benar-benar gelap mata.

Shot-gun Cakrabaskara segera dicabut. Ditodongkan ke arah Harjuna Sasrabahu. Sesaat, pandangan mata mereka berdua beradu. Sumantri sedikit gentar dengan ketenangan lawannya.

“Kenapa Sumantri? Ayo tembakkan Cakrabaskara-mu!” Kata Harjuna Sasrabahu.

Kampret, batin Sumantri. Maka pelatuk pun ditarik. Dor! Cakrabaskara melesat. Semua orang yang pernah melihat keampuhan Cakrabaskara menjadi was-was. Mati. Harjuna Sasrabahu bakal mati. Raja mereka bakal di tewas di tangan senjata pemuda gunung ini.

Jeduarrrrrrr!!! Cakrabaskara mengenai sasaran. Suaranya menggelegar. Kereta perang Harjuna Sasrabahu hancur berkeping-keping, debunya berterbangan. Kuda-kuda penariknya tidak bisa dikenali lagi jasadnya. Tapi tubuh Sang Prabu lenyap.

Ah, mungkin mayatnya mental ke dalam hutan, pikir Sumantri. Maka masuklah Sumantri ke dalam hutan. Sumantri tengok kiri-kanan mencari Harjuna Sasrabahu yang sudah diyakininya cuma tinggal jasadnya.

“Siapa yang kamu cari Sumantri? Aku di sini.” Tiba-tiba suara mengguntur datang dari arah belakangnya.

Sumantri menoleh, menjerit tertahan, kedua kakinya lemas hingga memaksanya berlutut. Di depannya sudah berdiri raksasa sebesar gunung, ajian Tiwikrama khas Dewa Wisnu. Harjuna Sasrabahu sudah berubah bentuk menjadi sedemikian mengerikannya.

Sumantri mengampun-ampun, menciumi kaki Sang Tiwikrama. Berulang-ulang menyatakan penyesalannya. Tiwikrama pun kembali menjadi Prabu Harjuna Sasrabahu. Sumantri yang dianggap lancang segera menerima hukuman. Hukumannya, atas usul Dewi Citrawati, adalah memindahkan Taman Sriwedari dari khayangan Utarasegara milik Dewa Wisnu ke kerajaan Maespati. Hukuman yang tidak masuk akal dari seorang perempuan yang menyebabkannya menerima hukuman.

Sumantri yang putus asa berlalu meninggalkan tempat itu. Meratapi nasibnya yang tidak bakal mampu menjalani hukumannya.

Sementara itu, Sukrasana yang merindukan kakaknya nekat meninggalkan padepokan untuk menyusul Sumantri. Perjalanannya dilakukan dengan berjalan kaki melintasi hutan-hutan yang dihuni oleh penghuninya yang aneh-aneh. Hingga pada akhirnya, Sukrasana mendapatkan ganjaran atas laku prihatinnya itu. Ajian Candhabirawa – yang mampu mengeluarkan raksasa sakti yang tidak bisa mati. Setiap dilukai, darah yang menetes akan menciptakan raksasa sejenis sejumlah darah yang menetes itu. Begitu berulang-ulang – berhasil didapatkannya.

Secara tidak sengaja, kedua kakak-beradik itu dipertemukan. Sumantri berkeluh-kesah tentang hukumannya yang tidak masuk akal. Sukrasana menanggapi dengan tersenyum dan memutuskan untuk menolong kakak tersayangnya itu. Chandabirawa segera dikeluarkan dan dengan cepat menunjukkan keampuhannya. Taman Sriwedari berpindah dengan kilat dari khayangan Utarasegara ke Maespati.

Sumantri berniat melaporkan keberhasilan itu kepada Harjuna Sasrabahu. Tapi sayangnya, Sukrasana berwujud raksasa, sehingga Sumantri malu mengajak serta Sukrasana. Dikhawatirkan Sukrasana bakal menakutkan untuk rakyat Maespati.

Sukrasana ngotot ikut. Sumantri jadi kesal. Sumantri kembali mencabut Cakrabaskara-nya. Mengancam akan menembakkan ke arah Sukrasana jika Sukrasana tidak mau pulang. Celaka, Sukrasana tidak takut, bahkan berjalan maju seakan-akan yakin sang kakak tidak akan tega melepas Cakrabaskara. Tapi tiba-tiba Sukrasana tersandung ke depan. Badannya langsung menjemput Cakrabaskara, dan melesatlah nyawanya.

Sumantri kontan menangis meraung-raung di hadapan jenazah adiknya. Dari langit tiba-tiba terdengar suara, “Jangan menangis, Mas Mantri. Kelak, dalam suatu perang, aku akan menjemput Mas Mantri dengan perantaraan seorang raksasa. Dan kita akan berkumpul kembali.”

Dengan perasaan tidak karuan akhirnya Sumantri menghadap Prabu Harjuna Sasrabahu. Menceritakan segalanya dan siap dengan segala resikonya. Dengan bijak Harjuna Sasrabahu menasehati Sumantri, menunjukkan rasa bela-sungkawanya, tidak menjatuhkan hukuman, bahkan menganugerahi Sumantri pangkat sebagai patih dengan gelar Patih Suwanda.

Sumantri pun selanjutnya menunaikan tugasnya sebagai patih dengan baik. Konon, Saking miripnya dengan Sang Prabu, jika suatu saat Sang Prabu berhalangan memimpin rapat negara, Sumantri akan didandani dengan pakaian kebesaran raja oleh Sang Prabu sendiri dan diperintahkan untuk menduduki singgasana. Para pembesar pun bakal menyangka raja mereka sendiri yang selalu memimpin rapat.

Hingga pada suatu saat, biangnya angkara-murka, raja raksasa, Prabu Rahwana alias Dasamuka, yang mendengar tentang kecantikan Dewi Citrawati berniat merebut Sang Dewi dari tangan Harjuna Sasrabahu. Pasukan Alengka berangkat di bawah pimpinan langsung rajanya untuk menyerbu Maespati. Sampai di tepi sungai Gangga, mereka beristirahat sejenak.

Prabu Harjuna Sasrabahu dan Patih Suwanda segera menggelar siasat. Harjuna Sasrabahu akan bertiwikrama dan tidur membendung Sungai Gangga, berharap akan membanjiri perkemahan pasukan Alengka dan membuat mereka pulang. Tapi jika pasukan Alengka nekat, Patih Suwanda harus segera membangunkan Sang Prabu. Jangan menghadapi Dasamuka sendirian, pesan Sang Prabu.

Perkemahan pasukan Alengka banjir. Tapi itu tidak menyurutkan keangkara-murkaan Dasamuka. Dia nekat menyeberang untuk menyerbu Maespati. Patih Suwanda siaga. Merasa tidak enak jika harus mengganggu Tiwikrama, pasukan Alengka dihadapinya tanpa mengindahkan pesan rajanya.

Suwanda berhadapan dengan Dasamuka. Cakrabaskara melesat membunuh Dasamuka berulang-ulang. Tapi dengan ajian Pancasona-nya, Dasamuka selalu hidup lagi dan hidup lagi. Hingga suatu saat Dasamuka ambruk dan tidak bangun kembali.

Sambil menggenggam senjata kebanggaannya, Suwanda memeriksa “mayat” Dasamuka. Tiba-tiba, Dasamuka bangun! Suwanda dipitingnya, Cakrabaskara direbutnya, dan dipakai untuk mencacah tubuh sang tuan sendiri. Suwanda gugur termutilasi. Jasadnya diterbangkan oleh Dasamuka ke langit. Di sana, arwah Sukrasana menjemput arwah sang kakak.

Penutup: Setewasnya Patih Suwanda, Dewi Citrawati berlari membangunkan suaminya. Dasamuka akhirnya kalah menghadapi Tiwikrama. Kejahatannya bisa diredam untuk sementara waktu. Sampai suatu saat, Harjuna Sasrabahu tewas di tangan Resi Jamadagni atau Ramabargawa, dan meninggalkan supata kalau suatu saat nanti Jamadagni bakal mati pula di tangan titisan Wisnu yang lain. Dasamuka, sepeninggal Harjuna Sasrabahu, kembali merajalela. Jamadagni sendiri akhirnya tewas di tangan Ramawijaya, yang juga akhirnya berhasil memusnahkan angkara-murka Dasamuka untuk selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar